Rabu, 14 November 2012

Berjuang Untuk Cita & Cinta



Langit dengan arakan awan yang berjajar begitu luas, disinari cahaya matahari yang tampaknya mulai bergulir ke balik bumi, sinarnya kuning dan merah, indah. Saat aku melangkah dan berjalan sendiri, mencari sesuatu yang bisa memberiku inspirasi dari alam. Sore yang indah itu aku pergi sendiri, membaca catatan kecil di saku dan sebatang pena kesayangan yang selalu kubawa saat jiwa ini akan berkata, maka dengan cepat pena menuliskan isi jiwa itu, sebuah puisi, cerpen, kritikan ataupun kekagumanku pada yang telah aku lihat. Dengan memakai jaket aku lebih nyaman, tubuhku bisa terlindungi dari rasa angin sore yang dingin. Rasa penasaranpun mulai menggerayang saat aku duduk di sebuah bangku kecil yang terletak di samping jalan kecil. Suasana desa terasa saat para petani berbondong-bondong mengantarkan hasil panen sawahnya berupa padi yang diantarkan sepeda motor. Sebenarnya tak ada yang aku tunggu di bangku itu, tak ada yang akan aku lihat di sana, aku hanya ingin memanjakan jiwaku, aku hanya ingin memenuhi hak pikiran yang terlalu lama berkelana sekaligus melepaskan bebannya.
            Aku hanya ingin mencari keindahan sebagai makan siang bagi jiwa ini, rasa jiwa ini lapar dan dahaga yang tak terkira. Tak beberapa lama aku duduk di atas bangku itu, aku melihat kerumunan manusia-manusia yang kusebut itu pejuang untuk diri mereka sendiri. Kemudian aku kembali dan berjalan menuju kerumunan orang yang bagiku tak asing lagi, mereka teman, dan sahabatku saat aku kecil, sedari kecil kami telah mengarungi dunia agar kami bisa bertahan hidup. Dengan rasa tidak segan aku berbaur dengan mereka, dan kami mulai beraksi. Kami beraksi saat lampu merah memancarkan dirinya, kami menyebar, mengetuk pintu mobil, kadang jendela, memasuki bus dengan lantuanan-lantunan lagu yang dinyanyikan tak begitu bagus, diiringi suara dan melodi gitar tua yang cukup indah untuk didengar. Lagu paforit kami waktu itu yaitu surgamu dari band Ungu. Terkadang ada yang berbalik hati pada kami, juga ada yang terkadang sinis melihat apa yang kami lakukan di tengah jalan. Bagi kami itu perjuangan yang tak harus kami berhenti karena wajah mereka yang seperti itu. Sebelum matahari itu benar-benar tenggelam dan warna langit berubah hitam, kami telah berkumpul di trotoar, menghitung hasil kerja, sebenarnya bukan kerja, kami tahu persis asalnya. Kami tak ingin membantu keluarga dengan jalan seperti ini, kami sadar bahwa kami pelajar, tugas kami belajar, kami hanya ingin mengeluarkan isi jiwa kami yang meluap, akan tetapi seiring kami bergaul dengan anak jalanan lain, pekerjaan itupun seperti sebuah bagian yang penting dalam hidup kami. Setelah hasil itu kami bagi rata, yang seluruhnya berjumlah delapan orang, karena sebelumnya kami sepakat tak ada yang curang, malas-malasan dalam bekerja, dengan seperti itu pula, semua selalu mempunyai uang untuk membeli gorengan di pinggir jalan dan sebotol minuman. Kamipun pulang, aku pualng dengan rasa senang karena keindahan itu tak kumiliki lagi saat aku pergi ke halaman rumahku yang asli, disebuah kampung terpencil. Saat pulang biasanya aku mendengar kumandang adzan, saat itu juga aku mendengar lagi, akupun menyadari hal itu, meski kini tak ada yang mengingatkan, hanya diri ini saja yang mengingatkan, ayah dan ibu jauh dariku, mereka dihalaman perkampungan, berbeda jauh denganku yang menjalani perjuangan hidup di sini, di Kota Raha, meski banyak tanga-tangan yang bisa merenggut nyawaku ini, apa boleh buat? Akupun yang kecanduan sekolah selalu berpikir, aku begitu ingin meneruskan sekolahku ke jenjang yang lebih tinggi yaitu jenjang SMA, dengan mengilapkan dan menghitamkan sepatu orang-orang yang berjalan. 
Bagiku itu tidak masalah. Karena semuanya dijalan rayalah aku bisa meraihnya. Ya, selain aku seorang tukang semir sepatu yang ilmunya aku dapat dari pamanku di kampung, akupun berusaha memberikan hiburan bagi jiwa ini yaitu seorang pengamen jalanan. Rasanya benar bahwa perjuangan di dunia ini benar-benar keras. Dengan itu aku bisa mengerti makna hidup dan perjuangan hidup itu sendiri. Setelah shalat maghrib, kadang aku kelelahan dan bisa-bisa aku tertidur pulas hingga pagi hari yang di bangunkan oleh marbot. Namun kali ini tidak, hidup selalu mengingatkanku bahwa aku harus berjuang lebih giat demi cita-citaku dimasa yang akan datang. Aku pun tahu ketika pagi yang indah kujelang, siang kembali akan mendepak. Aku tahu hal itu dari jejak-jejakku sebelumnya. Maka yang kelakukan adalah kuiring lagi diri dan langkahku ini menuju perempatan atau lampu-lampu lalu lintas, yang sebentar-bentar berubah warna. 

KUJELANG
Pagi yang indah kujelang kembali
Menghempaskan mimpi meraih bergantinya hari
Di ufuk timur tersirat cahaya kedamaian
Sejenak siang kan berusaha mendepak
Aku bilang pada diriku
Ini akan….
Membangkitkan semangat menghangatkan perasaan
Hembusan angin menemaniku berjalan
Mengiringi langkah berpadu dalam kepastian
Gemersik dedaunan bak irama kehidupan
Kicauan burung di pagi itu
Hembusan sang bayu
Sepoi-sepoi
Mereka selalu dan
Selalu setia menyanyikan lagu kemenangan
Dalam menggapai makna cita dan cinta
Dalam mewujudkan makna hidup yang sesungguhnya
Hidup akan aku
Biarkan pergantian hari terus berjalan
Karena setiap saat akan selalu kujelang
Sampai akumulasi detik ini berhenti
Semua terus akan kujelang sampai jantung
Tak lagi berdetak
Bersama tiang pasak
Syahrin Kamil

Semangat hidup terus mengalir di jiwaku. Akupun beraksi, karena waktu itulah kesempatan besarku, tanpa pesaing anak lain hingga larut malam, biasanya sampai pukul 21.00 Wita, tapi kali ini lebih dari itu kadang sampai pukul 21: 00 Wita demi cita-cita yang ku gantung di ketinggian sana. Demi cita-cita yang ku gantung diatasnya setelah langit-langit. Aku habiskan semua itu dengan menghibur hati orang-orang itu. Kelelahan mulai merasuki badan hinggat tulang, akupun pulang, rumahku tak terlalu jauh, aku gampang menemukannya, aku bisa berjalan dengan selang beberapa menit telah tampak bangunan panjang dan besar, dibelakang bangunan itulah saya tinggal, nama bangunan besar itu POLESEK Katobu yang telah kumuh tergerogoti zaman, sebuah rumah kecil yang sangat berharga bagiku. Istana yang sangat berharga bagiku. Tempatku berdiam, tempatku beristirahat. Meski harus ku punguti pecahan kardus yang jatuh dan basah itu agar bisa menghalangi angin yang masuk ke rumahku. Aku tinggal bersama teman-teman seperjuanganku, di jalan berambu lalu lintas, hanya berdua, dan kami bernasib sama. Sebelum aku memasuki rumah, Kulihat dilangit para bintang bercahaya , ini pertanda aman bagi kami, pun rumahku, awan tak mendung, jika hujan kami merasa repot dan harus membangun rumah yang baru. Kulihat temanku yang kini kerap di panggil Liulis, ia tertidur pulas. Aku keluar di depan istana kami sembari menengadah ke langit Tuhan dan bertanya pada Tuhan. “Tuhan kenapa kami seperti ini”?. Aku merasa sendiri walau ada sahabatku yang selalu setia menemani. Tak sadar air mata jatuh setetes demi setetes. Malam itu ingin rasanya aku menangis keras, tapi apa daya teman lagi tidur. Jelang semenit dalam tangis kecil dan khayalanku, aku tersenyum karena Tuhan tersenyum kepadaku melalui cahaya bulan yang indah. Pun aku yang tak lama menyusul temanku yang terlelap.

 SENDIRI
Di kesepian malam aku sendiri
Termenung dibawah cahaya rembulan
Kelap-kelip para kejora
Yang selalu setia menemani sang rembulan
Di alam..
Pucuk-pucuk daun meliuk indah
Mengikuti irama sang bayu perlahan

Angin…., Aku hargai kau menghiburku
Memang tidak ingin aku berlama-lama
Larut dengan gelapnya malam
Terombang-ambing oleh kelamnya awan
Angin…., Tolong katakan pada bintangku
Aku rindu dan berharap dia hadir disini
Dengan segala ketulusan cintaNya
Ingin aku mengajaknya bernyanyi
Menari, berdansa berdua
Angin…, katakanlah padaNya
Aku perlu belaian sejuta kasihNya
Ingin aku menikmati indahnya malam ini
Dengan kehangatan peluk mesraNya
Angin…, untuk yang terakhir
Katakanlah padanya
Aku benci dengan kesendirian ini
=Syahrin Kamil=


            Kini, hari baru muncul lagi, saat inilah yang kami tunggu-tunggu, mencoba meraih uang dari hasil kami menyemir sepatu. Hingga sore tiba dengan aksi yang biasa, hingga malam, demi cita-cita meneruskan sekolahku ke jenjang SMA. Orang tuaku tak tahu apa yang di lakukan disini, di Kota Raha, aku ingin sekali menjadikan masa depanku jauh lebih cerah dari pada orang tuaku, aku tak percaya kata orang bahwa buah jatuh tak jauh dari pohonnya, kuanggap sebuah mitos, tetapi aku ingin phenomena indah terjadi pada diriku, aku percaya buah itu akan jatuh lebih jauh daripada pohonnya, aku tak mau menjadi seorang yang hidup dengan menompangi dan ikut-ikutan hidup seperti orang lain yang hanya jadi sampah masyarakat. Hingga saat ini, aku masih ingin melanjutkan pencarian ilmu selayaknya teman-temanku di SMP, ke SMA, lalu ke universitas setelah itu, akan kuajak orang tuaku mengarungi dunia dengan keindahan dan kebahagiaan, aku ingin orang tuaku bangga,, bangga mempunyai anak sepertiku. Aku akan ajak mereka ke luar negeri berenang-senang karena itu semua hasil kuliahku, motivasi itulah yang aku genggam, dari prestasi, , dan cita-cita terrtinggiku, aku ingin menjadi anak yang bisa mengantarkan ibu dan ayah ke mekkah untuk berhaji. Akupun tahu ini bukanlah jalan yang baik bagiku, menjadi seorang pengamen jalanan, yang kini sudah melekat wajib bagiku pada sore hari. Hari ini akan ku kilapkan ribuan sepatu dan akan ku tabung hasilnya agar aku bisa meneruskan sekolah, sukses dan kubahagiakan orang tua.


 
Kini sang surya yang berada tepat diatas kepalaku, berubah wujud menjadi guliran keringat bak kristal yang mengalir deras dari tubuh ini, hingga kain penutup tubuhku kuyup olehnya. Aku tahu ini sebuah perjuangan, aku tahu itu…. Namun, saat pekerjaanku berjalan dengan biasanya, hari itu aku masih ingat,.. Seperti ini,Pagi hari, saat mentari cukup menerangi kami semua yang ada di jalanan, aku duduk di sebuah bangku panjang disebuah warung, di sisi trotoar, saat aku melamun, memeandang kosong kedepan, tiba-tiba seseorang mengagetkanku menepuk bahuku dan akupun mengerti itu,,, akupun menyemiri sepatunya hingga mengkilap hitam. Setelah beberapa menit, akupun mengalihkan perhatiannya padaku, sebagai tanda bahwa sepatunya telah selesai kusemir, dan aku tak kuat untuk menceritakan ini semua padamu….Aku kini sadar, lebih teliti, lebih berhati-hati setelah kejadian itu menimpa diriku, dan aku tak mau terjerumus lagi ke lubang yang sama. Kejadian itu membuat aku lemas tak berdaya, hasil-hasil yang ku mulai pagi hingga sore hari habis ia ramapas, dan aku tak mengerti masalah ini. Sengaja sorepun aku tak beraksi lagi bersama Liulis hanya ia sendiri yang pergi, ia pergi, ia juga pergi ke yang Maha Kuasa , dan kini aku sendiri meratapi mimpi,,,, setelah kejadian perampasan itu, razia besar-besaran di kota Raha itupun mulai ramai, tim Satpol PP mengamankan puluhan pengamen, termasuk orang yang aku benci, ya orang yang merampas itu, Penyok, saat peristiwa itulah Liulis terinjak-injak masa, setelah beberapa menit ia berusaha untuk bicara padaku, namun tak sampai, maut menjemput lebih dulu.

Kangen Untuk Sahabat
Dalam remang cahaya lilin
Sekilas nampak kilauan kasih
Memedarkan arti kekelabuan hati
Sesaat seolah redup
Membisakan harapan cinta dan kerinduan

Dalam dada menyesak arti ketidakpastian
Sesekali ingin semua cita teraih
Namun, tak dapat menembus batas ruang
Yang semakin menjauh

Dikala sekelebat kilat menyala
Cahayanya menyilaukan mata
Bukan terang yang kuraih
Namun kegelapan setelahnya

Hamparan bunga cinta menjadi merana
Kedinginan, ingin ada yang memetiknya
Dipandang ditaruh dalam vas bunga
Walau nantinya layu
Namun hidupnya menjadi berarti
Menikmati semua tujuan yang dicapai
 

Salam Terang
SYAHRIN KAMIL

0 komentar:

Posting Komentar

Lorem ipsum dolor

Visitor

Content

Featured Posts

Pengunjung

Flag Counter
Diberdayakan oleh Blogger.

Social Icons

Search This Blog

Popular posts

 

Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com