YANG HILANG akan berlalu, yang
lalupun akan hilang bersamaan dengan akumulasi detik yang tak henti berrotasi.
Dua penggal kalimat ini buatku adalah pelajaran paling berharga untuk semua
orang, itu menurutku. Dari deretan pengalaman hidup yang indah, yang manis,
bahkan yang buruk akan tertuang dalam tulisan ini. Ketika aku berpetualang
dalam mencari sesuatu yang aku cari, kesemuanya itu juga termuat dalam tulisan
ini. Perjalanan ini kurasa unik juga menyenangkan. Keunikan itu terlukis dari
gejolak kehidupan saya. Keluarga, Sahabat, teman, bahkan mereka yang pernah
menjadi kekasihku. Merekalah yang membuat hidupku unik dan menyenangkan
terutama ketika waktu seharian kuhabiskan dengan mereka yang pernah menjadi
kekasihku.
Kembali…
Yang hilang akan berlalu,
Entah berpamit atau menghilang tanpa
kata dititipkan untukku, untukmu, untuknya dan untuk mereka yang ditinggalkan.
Iya, ‘bejat’ memang kupikir mereka yang pergi tanpa pamit.
Iya, kurasa yang kutulis ini bukan
tentang kebejatan yang hilang tanpa kata. Tapi, keindahan yang pernah terjadi
dalam hidup yang pernah diukir olehnya yang hilang dalam hidupku.
Kupikir masa itu…
Ketika aku berjalan mundur dan
hilang dari tempatku berpijak saat ini dengan kurun waktu mungkin 3 atau 4
tahun. Kemudian aku berjalan ke depan kembali menapaki jejak itu.
Indah Rasanya, Iya sangat Indah…
Yaa.. Sebuah keindahan juga
kedamaian yang kurasakan. Tapi, kembali lagi ada kata tapi. Di sisi lain
kedamaian itu terkadang membuatku gelisah. Kegelisahan akibat terlena dengan
suasana indah. Hidupku seolah tak punya arah dan tujuan. Pernah berpikir untuk
mati saja. Logika tak lagi sejalan dengan kata hati yang paling dalam. Aku juga
sudah mulai ragu dengan apa yang dikatakan oleh kalbuku. Untung aku sadar
sepintar-pintarnya diriku, logikaku, tak sepintar hatiku. Iya.. Itulah yang
menyelamatkannku.
Suatu waktu aku berpikir bahwa aku
ini telah mati. Bagaimana tidak, aku berada di lingkungan banyak orang
sedangkan mereka tak menghiraukannku. Maka aku berpikir bahwa aku telah tiada. Kala
itu, otakku serasa akan pecah. Pikiranku berkelana, pikirannku berpetualang tak
tahu entah ke mana tak ada akhir, tak ada batas untuk itu. Sampai akhirnya aku
menemukan muara dari petualangan itu. Muara itu berpusat pada satu tempat kusebut
itu ‘Entah Berantah’ karena aku tak tahu tempat itu apa, di mana, siapa
penghuninya. Di sana aku melihat lelaki tua, lekuk badannya bak busur panah
yang hendak menghempaskan anak panahnya. Di kepalaku timbul tanya entah apa
yang ada di kepala lelaki tua itu, dia berjalan sembari tersenyum kecil
menghitung langkahnya. Kemudian sekonyong-konyong aku mendekati dan
menyalaminya. Aku bercerita kepadanya tentang apa yang kualami saat ini.
Panjang kuceritakan kisahku, diakhir dia berkata “jadilah pemenang atas dirimu”. Kemudian hilang dari hadapanku. Oh
ternyata aku bermimpi.
Mimpi itu yang membangunkanku dari
tidurku, dari masalahku. Kalimat lelaki tua itu melekat di kepalaku. Hingga aku
tersadar bahwa aku berada pada jalan yang salah. Suatu malam di sepertiga malam
terakhir aku terbangun. Aku kemudian menghampiri kran air. Kemudian aku
Membasuh kedua telapak tanganku, sampai akhirnya Membasuh kedua telapak kakiku.
Kemudian di atas sajadah Tua ku kedua tanganku menengadah memohon kepadanya aku
berdo’a Tuhan tunjukkan jalan yang benar untukku, Bantulah aku menjadi pemenang
atas diriku. Tak sadar tetesan air mata membasahi sajadah tuaku tersebut.
Cerita di atas mengisahkan ketika
aku menjalin kasih dengan teman kuliahku, dia adalah Nurjanah. Hasil dari do’aku akhirnya aku sadari bahwa
aku bermasalah dengan diriku, aku futur bukan karena dia, bukan karena mereka,
tapi dirikulah yang bermasalah dengan diriku. Sampai akhirnya aku ceritakan
masalah pada dua sahabatku yang hebat, sahabat yang aku kasihi, Adi dan Baim.
Mereka hebat, ketika aku jatuh, mereka berdua membangunkanku, ketika aku salah
mereka menegurku, mereka mengkritisiku, aku sangat bersimpati pada mereka.
Setelah mendengar curhatannku, mereka bilang ikuti kata hatimu sambil menepuk
dada kiriku, hilangkan sedikit keakuanmu. Semua akan baik-baik saja.
Aku tersenyum…
Dan berkata kepada mereka,
terimakasih teman.
Aku pernah menulis seperti ini
Aku berpijak dan berjalan di bumi-NYA
Kesemuanya… Rahmat & Cinta
dari-NYA
DIA telah memberikan keAKUan padaku
Sehingga aku bisa hidup seperti
seharusnya
Tapi,..
Kembali lagi kata tapi bersama
tulisan ini
Keakuan ini haram untuk melukai hati
yang suci
Hati yang suci pada seorang wanita
mulia.
=Syahrin Kamil=
Inilah yang menyadarkan aku bahwa aku memang benar-benar
bermasalah dengan diriku.
Dua penggal kalimat ini kuperuntukkan Dia yang pernah
menjadi kekasihku. Ketika masa lalu berlalu maka yang lalu perlahan akan
menghilang untuk selamanya. Bersamanya hidupku indah dan juga ketidakindahan
selalu ada. Suatu ketika Ramadhan datang, aku jemput ini dengan hati yang
bahagia. Awal Ramadhan kurasa sangat indah. Ya bagaimana tidak? Ada yang selalu
membangunkanku disaat sahur menjelang.
Tapi, petaka datang ketika wanita itu meninggalkan
sejenak kota ini, ke kota asalnya. Komunikasi aku, dia sangat jarang. Sejenak
aku berpikir dan bertanya. Apa gerangan yang terjadi pada kami. Pikiranku
kembali berkelana mencari apa yang harusnya aku dan dia lakukan. Tapi,
kesemuanya tak ada titik yang kutemui. Alhasil pertengkaran kembali mencuat di
permukaan.
Keakuanku Membahana…
Itu hal yang kembali terjadi pada diriku, dirinya.
Ketidakcocokkan mulai aku rasakan, kami tak mungkin lagi
bersama. Handphone kecilku kemudian
membantu untuk berbicara dengannya. Satu kata yang aku bilang. ‘Kita Selesai’!. Haa.. katanya. It’s ok. No problem. Pembicaraan putus.
Tak ada komunikasi. Seminggu lamanya waktuku dalam seminggu itu kuhabiskan di
kepalaku untuk pikir dia yang sebenarnya masih kucintainya. Rindu masih
miliknya, sayang masih miliknya. Tapi egolah yang mematikan semuanya.
Maaf adalah senjataku…
Setiap masalah menghampiri kata maaflah yang selalu setia
menemani saya untuk menemuinya yang masih kucinta. Setiap kata maaf kuucap
jawabnya juga dimaafkan. Hal ini rasanya nyaman dan menyenangkan. Di sisi lain,
kenyamanan ini juga menggelisahkanku, kegelisahan mencuat karena kupikir seakan
tidak ada perjuangan yang kulakukan untuk bersamanya lagi. Di kepalaku kembali
muncul tanda tanya besar apakah dia benar
masih bersamaku?. Entahlah.
Semuanya Baik-baik saja…
Akumulasi detik terus berjalan hingga membawa kami di
satu waktu yang sangat indah. Kala itu aku, dirinya berjalan bersama
menunggangi sepeda motor ku, entah tempat itu di mana. Tapi kurasa sangat
indah. Yaa.. tidak ada masalah yang menghampiri. Senyumku senyumnya kembali
merekah di bibirku dan bibirnya yang manis. Kebahagiaan seakan tak ada
batasnya. Komunikasi sangat lancar. Hingga malam kami lewati tanpa lelap. Mata
tak ingin tertutup, bibir terus berkata. Itulah mungkin kebahagiaan yang aku
rasakan bersamanya.
Dari itu pernah kutulis puisi
Kala itu aku di sudut ruangan kecil di kampus ungu
Seperti ini
Entah apa.
Apa yang ada di benak dua anak
manusia ini.
Aku bingung…
Malam seakan milik mereka berdua
Keduanya melewati malam tanpa lelap
Malam…
Dengan kebisuan tanpa warna
Mereka meniadakan hal itu
Warna tercipta ketika cerita tak
berujung.
Tapi, yang mereka ceritakan
Yang keduanya bicarakan adalah
sebuah ketidakwajaran.
Entahlah…
Yang ku tahu
Mereka telah menciptakan taman
langit
Di malam yang bisu
Di malam yang tanpa warna.
=syahrin kamil=
Pergi Tanpa Pamit…
Ketidakjelasan hubungan kami kembali mencuat. Suatu
ketika aku tanya kabar dan ingin bicara kecil dengannya. Dia berkata cari temammu
untuk bercerita. Hatiku seakan dicabik-cabik, tubuhku seakan dicambuk seribu
kali. Sakit kurasa. Iya kesakitan dikala bahagia tak lagi bersamaku. Kucoba
beberapa kali untuk membujuk dia yang lagi masih kucinta. Tidak. Jawabnya.
Kegilaan muncul di diriku. Pada akhirnya aku kirimkan pesan singkat dari ponsel
kecilku ‘lakukan apa yang terbaik
menurutmu, aku tak pernah ingin mencampuri urusanmu lagi’ selamat tinggal’. Tak
ada respon, kukira dia telah pergi untuk selamanya. Iya memang benar adanya.
Aku kemudian membisu…
Waktu terus berlalu, sedangkan aku masih dan tetap
membisu kala aku berhadapan dengannya. Kebisuanku terjadi akibat sakitnya hati
yang kupunya. Hatiku seakan berteriak pada Tuhan. Tuhan aku bisa lintasi bumimu
sampai dimanapun ujungnya, aku bisa rajai hari, aku bisa menjadi raja atas
mereka. Tuhan aku sakit tolonglah aku. Hasilnya aku bahagia dengan bantuan
Tuhanku, Tuhanku menjamah segala do’aku. Dan pada akhirnya aku bisa hidup
seperti seharusnya.
Hikmah itu kemudian muncul…
Kebahagiaan muncul seketika…
Sahabat kita hanya mampu merencakan sesuatu, tapi maha
rencanalah yang memutuskan semuanya, masih ada rahasia dibalik rahasia, yang
bisa kita lakukan mulailah dengan ikhlas jangan pernah memikirkan hasil dari
apa yang kita kerjakan. Ketika kita beranjak dengan keikhlasan apapun hasil
dari karya kita, kesemuanya dengan lapang akan kita terima, karena itulah yang
terbaik untuk kita.
Terakhir…
Mencintai, anda siap untuk memberi
Bukan menerima, bukan itu
Tapi, satu hal yang akan ku bisikkan
pada sahabat
Aku bersyukur telah mencintainya
Dengan mencintainya
Telah memperluas wawasanku tentang
Ketdakwajaran dan ketidakharusan
untuk dilakukan
Salam Terang
SYAHRIN
KAMIL
0 komentar:
Posting Komentar