Langit
dengan arakan awan yang berjajar begitu luas, disinari cahaya matahari yang
tampaknya mulai bergulir ke balik bumi, sinarnya kuning dan merah, indah. Saat
aku melangkah dan berjalan sendiri, mencari sesuatu yang bisa memberiku
inspirasi dari alam. Sore yang indah itu aku pergi sendiri, membaca catatan
kecil di saku dan sebatang pena kesayangan yang selalu kubawa saat jiwa ini
akan berkata, maka dengan cepat pena menuliskan isi jiwa itu, sebuah puisi,
cerpen, kritikan ataupun kekagumanku pada yang telah aku lihat. Dengan memakai
jaket aku lebih nyaman, tubuhku bisa terlindungi dari rasa angin sore yang
dingin. Rasa penasaranpun mulai menggerayang saat aku duduk di sebuah bangku kecil
yang terletak di samping jalan kecil. Suasana desa terasa saat para petani
berbondong-bondong mengantarkan hasil panen sawahnya berupa padi yang
diantarkan sepeda motor. Sebenarnya tak ada yang aku tunggu di bangku itu, tak
ada yang akan aku lihat di sana, aku hanya ingin memanjakan jiwaku, aku hanya
ingin memenuhi hak pikiran yang terlalu lama berkelana sekaligus melepaskan
bebannya.
Aku hanya ingin mencari keindahan
sebagai makan siang bagi jiwa ini, rasa jiwa ini lapar dan dahaga yang tak
terkira. Tak beberapa lama aku duduk di atas bangku itu, aku melihat kerumunan manusia-manusia
yang kusebut itu pejuang untuk diri mereka sendiri. Kemudian aku kembali dan berjalan
menuju kerumunan orang yang bagiku tak asing lagi, mereka teman, dan sahabatku
saat aku kecil, sedari kecil kami telah mengarungi dunia agar kami bisa
bertahan hidup. Dengan rasa tidak segan aku berbaur dengan mereka, dan kami
mulai beraksi. Kami beraksi saat lampu merah memancarkan dirinya, kami
menyebar, mengetuk pintu mobil, kadang jendela, memasuki bus dengan
lantuanan-lantunan lagu yang dinyanyikan tak begitu bagus, diiringi suara dan
melodi gitar tua yang cukup indah untuk didengar. Lagu paforit kami waktu itu
yaitu surgamu dari band Ungu. Terkadang ada yang berbalik hati pada kami, juga
ada yang terkadang sinis melihat apa yang kami lakukan di tengah jalan. Bagi
kami itu perjuangan yang tak harus kami berhenti karena wajah mereka yang seperti
itu. Sebelum matahari itu benar-benar tenggelam dan warna langit berubah hitam,
kami telah berkumpul di trotoar, menghitung hasil kerja, sebenarnya bukan
kerja, kami tahu persis asalnya. Kami tak ingin membantu keluarga dengan jalan
seperti ini, kami sadar bahwa kami pelajar, tugas kami belajar, kami hanya
ingin mengeluarkan isi jiwa kami yang meluap, akan tetapi seiring kami bergaul
dengan anak jalanan lain, pekerjaan itupun seperti sebuah bagian yang penting
dalam hidup kami. Setelah hasil itu kami bagi rata, yang seluruhnya berjumlah
delapan orang, karena sebelumnya kami sepakat tak ada yang curang, malas-malasan
dalam bekerja, dengan seperti itu pula, semua selalu mempunyai uang untuk
membeli gorengan di pinggir jalan dan sebotol minuman. Kamipun pulang, aku
pualng dengan rasa senang karena keindahan itu tak kumiliki lagi saat aku pergi
ke halaman rumahku yang asli, disebuah kampung terpencil. Saat pulang biasanya
aku mendengar kumandang adzan, saat itu juga aku mendengar lagi, akupun
menyadari hal itu, meski kini tak ada yang mengingatkan, hanya diri ini saja
yang mengingatkan, ayah dan ibu jauh dariku, mereka dihalaman perkampungan,
berbeda jauh denganku yang menjalani perjuangan hidup di sini, di Kota Raha,
meski banyak tanga-tangan yang bisa merenggut nyawaku ini, apa boleh buat?
Akupun yang kecanduan sekolah selalu berpikir, aku begitu ingin meneruskan
sekolahku ke jenjang yang lebih tinggi yaitu jenjang SMA, dengan mengilapkan
dan menghitamkan sepatu orang-orang yang berjalan.
Bagiku itu tidak masalah.
Karena semuanya dijalan rayalah aku bisa meraihnya. Ya, selain aku seorang
tukang semir sepatu yang ilmunya aku dapat dari pamanku di kampung, akupun berusaha
memberikan hiburan bagi jiwa ini yaitu seorang pengamen jalanan. Rasanya benar
bahwa perjuangan di dunia ini benar-benar keras. Dengan itu aku bisa mengerti
makna hidup dan perjuangan hidup itu sendiri. Setelah shalat maghrib, kadang
aku kelelahan dan bisa-bisa aku tertidur pulas hingga pagi hari yang di
bangunkan oleh marbot. Namun kali ini tidak, hidup selalu mengingatkanku bahwa aku
harus berjuang lebih giat demi cita-citaku dimasa yang akan datang. Aku pun
tahu ketika pagi yang indah kujelang, siang kembali akan mendepak. Aku tahu hal
itu dari jejak-jejakku sebelumnya. Maka yang kelakukan adalah kuiring lagi diri
dan langkahku ini menuju perempatan atau lampu-lampu lalu lintas, yang
sebentar-bentar berubah warna.
KUJELANG
Pagi yang indah
kujelang kembali
Menghempaskan mimpi
meraih bergantinya hari
Di ufuk timur
tersirat cahaya kedamaian
Sejenak siang kan
berusaha mendepak
Aku bilang pada
diriku
Ini akan….
Membangkitkan
semangat menghangatkan perasaan
Hembusan angin
menemaniku berjalan
Mengiringi langkah
berpadu dalam kepastian
Gemersik dedaunan
bak irama kehidupan
Kicauan burung di
pagi itu
Hembusan sang bayu
Sepoi-sepoi
Mereka selalu dan
Selalu setia
menyanyikan lagu kemenangan
Dalam menggapai
makna cita dan cinta
Dalam mewujudkan
makna hidup yang sesungguhnya
Hidup akan aku
Biarkan pergantian
hari terus berjalan
Karena setiap saat
akan selalu kujelang
Sampai akumulasi
detik ini berhenti
Semua terus akan
kujelang sampai jantung
Tak lagi berdetak
Bersama tiang pasak
Syahrin Kamil
Semangat
hidup terus mengalir di jiwaku. Akupun beraksi, karena waktu itulah kesempatan
besarku, tanpa pesaing anak lain hingga larut malam, biasanya sampai pukul
21.00 Wita, tapi kali ini lebih dari itu kadang sampai pukul 21: 00 Wita demi
cita-cita yang ku gantung di ketinggian sana. Demi cita-cita yang ku gantung
diatasnya setelah langit-langit. Aku habiskan semua itu dengan menghibur hati
orang-orang itu. Kelelahan mulai merasuki badan hinggat tulang, akupun pulang,
rumahku tak terlalu jauh, aku gampang menemukannya, aku bisa berjalan dengan
selang beberapa menit telah tampak bangunan panjang dan besar, dibelakang
bangunan itulah saya tinggal, nama bangunan besar itu POLESEK Katobu yang telah
kumuh tergerogoti zaman, sebuah rumah kecil yang sangat berharga bagiku. Istana
yang sangat berharga bagiku. Tempatku berdiam, tempatku beristirahat. Meski
harus ku punguti pecahan kardus yang jatuh dan basah itu agar bisa menghalangi
angin yang masuk ke rumahku. Aku tinggal bersama teman-teman seperjuanganku, di
jalan berambu lalu lintas, hanya berdua, dan kami bernasib sama. Sebelum aku
memasuki rumah, Kulihat dilangit para bintang bercahaya , ini pertanda aman
bagi kami, pun rumahku, awan tak mendung, jika hujan kami merasa repot dan
harus membangun rumah yang baru. Kulihat temanku yang kini kerap di panggil
Liulis, ia tertidur pulas. Aku keluar di depan istana kami sembari menengadah
ke langit Tuhan dan bertanya pada Tuhan. “Tuhan
kenapa kami seperti ini”?. Aku merasa sendiri walau ada sahabatku yang
selalu setia menemani. Tak sadar air mata jatuh setetes demi setetes. Malam itu
ingin rasanya aku menangis keras, tapi apa daya teman lagi tidur. Jelang
semenit dalam tangis kecil dan khayalanku, aku tersenyum karena Tuhan tersenyum
kepadaku melalui cahaya bulan yang indah. Pun aku yang tak lama menyusul temanku
yang terlelap.
SENDIRI
Di kesepian malam aku sendiri
Termenung dibawah cahaya rembulan
Kelap-kelip para kejora
Yang selalu setia menemani sang rembulan
Di alam..
Pucuk-pucuk daun meliuk indah
Mengikuti irama sang bayu perlahan
Angin…., Aku hargai kau menghiburku
Memang tidak ingin aku berlama-lama
Larut dengan gelapnya malam
Terombang-ambing oleh kelamnya awan
Angin…., Tolong katakan pada bintangku
Aku rindu dan berharap dia hadir disini
Dengan segala ketulusan cintaNya
Ingin aku mengajaknya bernyanyi
Menari, berdansa berdua
Angin…, katakanlah padaNya
Aku perlu belaian sejuta kasihNya
Ingin aku menikmati indahnya malam ini
Dengan kehangatan peluk mesraNya
Angin…, untuk yang terakhir
Katakanlah padanya
Aku benci dengan kesendirian ini
=Syahrin Kamil=
Kini, hari baru muncul lagi, saat
inilah yang kami tunggu-tunggu, mencoba meraih uang dari hasil kami menyemir
sepatu. Hingga sore tiba dengan aksi yang biasa, hingga malam, demi cita-cita
meneruskan sekolahku ke jenjang SMA. Orang tuaku tak tahu apa yang di lakukan
disini, di Kota Raha, aku ingin sekali menjadikan masa depanku jauh lebih cerah
dari pada orang tuaku, aku tak percaya kata orang bahwa buah jatuh tak jauh
dari pohonnya, kuanggap sebuah mitos, tetapi aku ingin phenomena indah terjadi
pada diriku, aku percaya buah itu akan jatuh lebih jauh daripada pohonnya, aku
tak mau menjadi seorang yang hidup dengan menompangi dan ikut-ikutan hidup seperti
orang lain yang hanya jadi sampah masyarakat. Hingga saat ini, aku masih ingin
melanjutkan pencarian ilmu selayaknya teman-temanku di SMP, ke SMA, lalu ke
universitas setelah itu, akan kuajak orang tuaku mengarungi dunia dengan
keindahan dan kebahagiaan, aku ingin orang tuaku bangga,, bangga mempunyai anak
sepertiku. Aku akan ajak mereka ke luar negeri berenang-senang karena itu semua
hasil kuliahku, motivasi itulah yang aku genggam, dari prestasi, , dan
cita-cita terrtinggiku, aku ingin menjadi anak yang bisa mengantarkan ibu dan
ayah ke mekkah untuk berhaji. Akupun tahu ini bukanlah jalan yang baik bagiku,
menjadi seorang pengamen jalanan, yang kini sudah melekat wajib bagiku pada
sore hari. Hari ini akan ku kilapkan ribuan sepatu dan akan ku tabung hasilnya
agar aku bisa meneruskan sekolah, sukses dan kubahagiakan orang tua.
Kini sang
surya yang berada tepat diatas kepalaku, berubah wujud menjadi guliran keringat
bak kristal yang mengalir deras dari tubuh ini, hingga kain penutup tubuhku
kuyup olehnya. Aku tahu ini sebuah perjuangan, aku tahu itu…. Namun, saat
pekerjaanku berjalan dengan biasanya, hari itu aku masih ingat,.. Seperti
ini,Pagi hari, saat mentari cukup menerangi kami semua yang ada di jalanan, aku
duduk di sebuah bangku panjang disebuah warung, di sisi trotoar, saat aku
melamun, memeandang kosong kedepan, tiba-tiba seseorang mengagetkanku menepuk
bahuku dan akupun mengerti itu,,, akupun menyemiri sepatunya hingga mengkilap
hitam. Setelah beberapa menit, akupun mengalihkan perhatiannya padaku, sebagai
tanda bahwa sepatunya telah selesai kusemir, dan aku tak kuat untuk
menceritakan ini semua padamu….Aku kini sadar, lebih teliti, lebih berhati-hati
setelah kejadian itu menimpa diriku, dan aku tak mau terjerumus lagi ke lubang
yang sama. Kejadian itu membuat aku lemas tak berdaya, hasil-hasil yang ku
mulai pagi hingga sore hari habis ia ramapas, dan aku tak mengerti masalah ini.
Sengaja sorepun aku tak beraksi lagi bersama Liulis hanya ia sendiri yang
pergi, ia pergi, ia juga pergi ke yang Maha Kuasa , dan kini aku sendiri
meratapi mimpi,,,, setelah kejadian perampasan itu, razia besar-besaran di kota
Raha itupun mulai ramai, tim Satpol PP mengamankan puluhan pengamen, termasuk
orang yang aku benci, ya orang yang merampas itu, Penyok, saat peristiwa itulah
Liulis terinjak-injak masa, setelah beberapa menit ia berusaha untuk bicara
padaku, namun tak sampai, maut menjemput lebih dulu.
Kangen Untuk Sahabat
Dalam remang cahaya lilin
Sekilas nampak kilauan kasih
Memedarkan arti kekelabuan hati
Sesaat seolah redup
Membisakan harapan cinta dan kerinduan
Dalam dada menyesak arti ketidakpastian
Sesekali ingin semua cita teraih
Namun, tak dapat menembus batas ruang
Yang semakin menjauh
Dikala sekelebat kilat menyala
Cahayanya menyilaukan mata
Bukan terang yang kuraih
Namun kegelapan setelahnya
Hamparan bunga cinta menjadi merana
Kedinginan, ingin ada yang memetiknya
Dipandang ditaruh dalam vas bunga
Walau nantinya layu
Namun hidupnya menjadi berarti
Menikmati semua tujuan yang dicapai
Salam Terang
SYAHRIN
KAMIL
0 komentar:
Posting Komentar