TULISAN INI KUPERSEMBAHKAN
UNTUK SAHABAT-SAHABAT SAYA YANG HEBAT
SATU HATI, DUA HATI. SERIBU CINTA, SEJUTA KASIH &
SAYANG. Kalimat itu lewat di kepalaku, kala aku duduk santai di teras rumah
yang berukuran kira-kira 2 kali 4 meter. Di malam yang hitam tapi kurasa indah.
Sekitar pukul 23.14 menit kupandang langit yang luas, awan kelabu bahkan hitam
berarakan ke sana kemari dengan alunan sang bayu, bintang-bintang yang jua
masih setia menemani sang rembulan. Kicauan burung hantu, melantunkan
melodi-melodi di malam yang hitam yang indah. Itulah yang membuatnya kusebut
malam hitam tapi indah.
Malam itu sangat dingin. Iya dingin sekali rasanya. Belaian
sang bayu menusuk hingga menembus tulang belulang. Sedikit bergetar tangan dan
tubuhku, tapi rasanya ingin terus berada di sini. Menikmati indahnya malam yang
kusebut tadi.
Pikiran terus berkelana dan berpetualang. Khayalku tak lagi
terbendung. Akhirnya aku menemukan sebuah keganjilan dari kehidupan masa lalu
saya. Iya, Aku sebut pengalaman ketika ‘PACARAN’. Berhenti di sana sejenak,
kemudian khayalku meneruskan petualanggannya membuka apa yang terjadi ketika
pacaran ku jalani dengan mereka yang pernah menjadi pacarku.
Hasil
dari seluruh rangkaian imajinasiku tersebut adalah pertanyaan muncul di kepala
saya, kurasa sangat kontoversial dengan dengan mereka yang paradigmanya beda denganku.
Inilah
pertanyaan itu : Masih Haruskah Aku
Berpacaran ?
Mengenal
lawan jenis dengan dalih untuk mengenal pribadi masing-masing. Padahal
kenyataannya, hanya sedikit kejujuran yang di tampakkan pada saat pacaran. Rasa
takut yang besar untuk di tinggal pasangannya atau hendak mengambil hati
pasangannya membuat mereka menyembunyikan keburukan yang terdapat dalam
dirinya. Sudah menjadi rahasia umum, jika usia pacaran yang lama tak menjamin
bahwa itu menjadi suatu jalan untuk memuluskan hubungan menuju jenjang
pernikahan. Sudah tak menjamin adanya pernikahan setelah sekian lama menjalin
masa pacaran, juga banyak di bumbui pelanggaran terhadap rambu-rambu Allah.
Maksiat yang terasa nikmat.
Zaman
sekarang, berpacaran sudah selayaknya menjadi pasangan suami istri. Si pria
seolah menjadi hak milik wanita dan si wanita kepunyaan pribadi si pria. Mereka
pun bebas melakukan apapun sesuai keinginan mereka. Yang terparah adalah sudah
hilangnya rasa malu ketika melakukan hubungan suami istri dengan sang pacar
yang notabene bukan mahram. Padahal pengesahan hubungan berpacaran hanya berupa
ucapan yang biasa di sebut “nembak”, misalnya “I Love You, maukah kau menjadi pacarku?” dan di terima dengan
ucapan “I Love You too, aku mau jadi
pacarmu”. Atau sejenisnya. Hanya itu. Tanpa adanya perjanjian yang kuat
(mitsaqan ghaliza) antara seorang hamba dengan Sang Pencipta. Tanpa adanya akad
yang menghalalkan hubungan tersebut. Hubungan pacaran tak ada
pertanggungjawaban kecuali pelanggaran terhadap aturan Allah. Karena tak ada
yang namanya pacaran islami, pacaran sehat atau apalah namanya untuk melegalkan
hubungan tersebut.
Kita
berlelah melakukan hubungan pacaran. Melakukan apapun guna menyenangkan hati
sang kekasih (yang belum halal) meskipun hati kita menolak. Jungkir balik kita
mempermainkan hati. Hingga suka dan sedih karena cinta, cinta terlarang. Hati
dan otak di penuhi hanya dengan masalah cinta. Kita menangis karena cinta, kita
tertawa karena cinta, kita meraung-meraung di tinggal cinta, kita pun mengemis
cinta. Hingga tak ada tempat untuk otak memikirkan hal positif lainnya. Tapi sayang,
itu hanya cinta semu atau kesia-siaan. Kita berkorban mengatasnamakan cinta
semu. Seorang pacar, hebatnya bisa menggantikan prioritas seorang anak untuk
menghormati orangtua. Tak sedikit yang lebih senang berdua-duaan dengan sang pacar
di banding menemani orangtua. Pacar bisa jadi lebih tau sedang dimana seorang
anak di banding orang tuanya sendiri. Seseorang akan rela menyenangkan hati
pacarnya untuk di belikan sesuatu yang di suka di bandingkan memberikan kejutan
untuk seorang ibu yang melahirkannya. Seseorang akan lebih menurut pada
perintah sang pacar di banding orang tuanya. Hubungan yang baru terjalin bisa
menggantikan hubungan lahiriah dan batiniyah seorang anak dengan orangtua.
Akihirnya yang ada untuk itu adalah bualan yang menular, kantong kering, dan
lain-lain.
Jika
pun akhirnya menikah, maka tak ada lagi sesuatu yang spesial untuk di
persembahkan pada pasangannya. Sebuah rasa yang seharusnya di peruntukan untuk
pasangannya karena telah di umbar sebelumnya, maka akan menjadi hal yang biasa.
Tak ada lagi rasa “greget”, karena masing-masing telah mendapatkan apa yang di
inginkan pada masa berpacaran. Bisa jadi, akibat mendapatkan sesuatu belum pada
waktunya maka ikrar suci pernikahan bukan menjadi sesuatu yang sakral dan mudah
di permainkan. Na’udzubillah.
Parahnya
jika tiba-tiba hubungan pacaran itu kandas, hanya dengan sebuah kata “PUTUS”
maka kebanyakan akan menjadi sebuah permusuhan. Apalagi jika di sebabkan hal
yang kurang baik misalnya perselingkuhan. Kembali hati yang menanggung
akibatnya. Hati kemudian meringis kesakitan akibat cinta yang semu tadi.
Kesedihan yang berlebihan hingga beberapa lama. Hati yang terlanjur memendam
benci. Tak sedikit yang teramat merasakan patah hati dikarenakan cinta
berlebihan menyebabkannya sakit secara fisik dan psikis. Juga ada beberapa
kasus bunuh diri karena tak kuat menahan kesedihan akibat patah hati.
Iya,
nampaknya terdengar berlebihan. Tapi, mungkin saja itu adalah kenyataannya,
hati adalah suatu organ yang sensitif. Bisa naik secara drastis, tak jarang
bisa jatuh langsung menghantam ke bumi. Apa yang di rasakan hati akan terlihat
pada sikap dan perilaku. Hati yang terpenuhi nafsu akan enggan menerima hal
baik. Ada orang bilang, jangan pernah bermain dengan hati. Karena dari mata
turun ke hati, kemudian tak akan turun kembali. Akan ada sebuah rasa akan
mengendap di dalam hati. Jika rasa itu baik dan di tujukan pada seseorang yang
halal (suami atau istri) maka kebaikan akan terpancar secara lahiriah. Bukan
sebuah melankolisme yang kini merajalela.
Banyak pelajaran dari diriku
dan sekitar. Kenapa masih harus berpacaran??
Karena
ingin ada teman yang selalu setia mendengar tiap keluh kesah?? Tak selamanya
manusia bisa dengan rela mendengarkan keluhan manusia lainnya. Hanya Allah yang
tak pernah berpaling untuk hambaNya. Bisa jadi secara fisik sang pacar rela
mendengar dengan seksama, tapi dia juga manusia yang akan merasa bosan jika
selalu di cecoki dengan berbagai keluhan.
Malu di bilang jomblo??
Jika
dengan jomblo kita bisa terbebas dari rasa yang terlarang, kenapa harus malu??
justru kita akan merasa nyaman bercengkerama dengan Allah karena sadar hati
kita hanya patut di tujukan kepadaNya bukan yang lain. Justru kita harus bangga,
di saat yang lain berlomba untuk melakukan hal terlarang tapi kita menjauhinya.
Kemudian tak akan ada perasaan was was karena telah melanggar aturan Allah.
Kita bebas berkumpul dengan kawan-kawan tanpa ada kekangan dari orang yang
sesungguhnya tak memiliki kewenangan terhadap diri kita.
Mungkin
masih banyak lagi kesia-siaan dalam berpacaran. Dan sesungguhnya belum tentu
sang pacar akan menjadi pasangan kita kelak.
Pacaran
ibarat narkoba, banyak yang mengelak bahwa dengan berpacaran mereka memiliki
semangat baru dan sederet hal positif yang mereka deklarasikan. Tapi sama
halnya dengan alkohol, maka manfaat yang di dapat jauh lebih kecil di banding
kemudharatan yang di hasilkan. Karena segala sesuatu yang di larang Allah,
pasti ada sebab dan manfaatnya.
Kemudian
ada yang berdalih, toh pacaran itu tidak merugikan orang lain. Tidak merugikan
orang lain, namun hukum Allah jauh lebih baik untuk di ikuti ketimbang
menurutkan hawa nafsu yang berakhir pada jurang kebinasaan.
Kemudian
banyak orang yang berdalih dan aku ada di dalamnya kala itu. Dalih mereka ini
adalah sebuah jalan menunju ke sana (pernikahan). Jalan ini mereka tempuh juga
dengan dalih pencocokkan karakter.
William
Jennings Bryan pernah bilang seperti ini : Takdir
bukanlah mengenai kesempatan, melainkan mengenai pilihan. Ia bukanlah sesuatu
yang kehadirannya ditunggu, melainkan sesuatu yang harus di raih. Ketika
hal ini diterjemahkan dengan keliru maka hasilnya adalah bukan sebuah kebaikan
tapi sebuah kehancuran. Banyak hal yang kupikir untuk dilakukan, misalnya
diajak berteman biasa tanpa harus pacaran. Bagiku itu sudah cukup untuk
mengenali satu sama lain.
Inilah pergeseran
paradigma yang terjadi pada diriku.
Inilah SIKAP yang
kutempuh dengan sepenuh hati, yang mungkin saja akan membuat perbedaan yang
cukup besar dengan orang-orang sekelilingku.
Merdekakanlah
dirimu dari kekangan satpam-satpam yang kalian cintai, yang kalian cintai
dengan cinta kesia-sian.
Cintailah
Seseorang yang bias mendatangkan kecintaan dari ALLAH SWT.
Teruslah
berjalan, sampai akhirnya kita memilih sesuatu. Pilihlah hal itu dengan segenap
hati.
SALAM TERANG
SYAHRIN KAMIL
0 komentar:
Posting Komentar